Rupiah 14 Ribu, Petani Sawit Bengkulu Rugi, Harga Sawit Cuma Rp 300/Kg
https://liputan-69.blogspot.com/2015/08/rupiah-14-ribu-petani-sawit-bengkulu.html
Pelemahan mata uang rupiah atas dolar Amerika Serikat, ternyata tidak membawa keuntungan bagi petani komoditi ekspor seperti sawit di Bengkulu. Mata uang rupiah yang melemah hingga Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat menyebabkan harga sawit di petani anjlok sampai Rp 300 per kilogram. Salah satunya petani sawit warga Desa Mekar Jaya, Kecamatan Ulu Talo, Kabupaten Seluma, Bengkulu.
"Sekarang petani hanya bersih mengantongi Rp 300 per kilo. Harga ini sangat tidak seimbang dengan harga pupuk yang terus meningkat," kata Amran, petani sawit, Jumat, 28 Agustus 2015.
Amran menuturkan, harga sawit Rp 300 per kilogram sangat memberatkan petani karena pendapatan dari hasil panen tidak seimbang dengan biaya pemeliharaan kebun yang dikeluarkan setiap bulannya.
Terjungkalnya harga sawit, kata Amran, menyebabkan pendapatan petani anjlok dari semula Rp 3,5 juta untuk dua hektare sekali panen menjadi Rp 1,5 juta, dan kini tidak lebih dari Rp 800 ribu.
Hal senada juga diungkapkan Noca Alamsyah. Noca mengatakan, sejak harga sawit anjlok kebun miliknya menjadi tidak terawat lagi dengan baik. Sebab, uang hasil panen tidak mampu membeli pupuk dan racun rumput.
"Sekarang saya pasrah saja atas nasib tanaman sawit karena tidak mampu lagi merawatnya. Ini terjadi karena hasil panen tidak seimbang dengan biaya perawatan

"Sekarang petani hanya bersih mengantongi Rp 300 per kilo. Harga ini sangat tidak seimbang dengan harga pupuk yang terus meningkat," kata Amran, petani sawit, Jumat, 28 Agustus 2015.
Amran menuturkan, harga sawit Rp 300 per kilogram sangat memberatkan petani karena pendapatan dari hasil panen tidak seimbang dengan biaya pemeliharaan kebun yang dikeluarkan setiap bulannya.
Terjungkalnya harga sawit, kata Amran, menyebabkan pendapatan petani anjlok dari semula Rp 3,5 juta untuk dua hektare sekali panen menjadi Rp 1,5 juta, dan kini tidak lebih dari Rp 800 ribu.
Hal senada juga diungkapkan Noca Alamsyah. Noca mengatakan, sejak harga sawit anjlok kebun miliknya menjadi tidak terawat lagi dengan baik. Sebab, uang hasil panen tidak mampu membeli pupuk dan racun rumput.
"Sekarang saya pasrah saja atas nasib tanaman sawit karena tidak mampu lagi merawatnya. Ini terjadi karena hasil panen tidak seimbang dengan biaya perawatan
kebun," ujarnya.
Setiap tiga bulan, kata Noca, tanaman sawitnya memerlukan pupuk senilai Rp 3 juta untuk setiap hektare. Saat harga sawit masih bagus yakni antara Rp 1.150-1.200 per kilogram, Noca mengaku masih sanggup.
"Tapi sekarang saya tidak mampu lagi menyiapkan uang Rp 6 juta untuk membeli pupuk, karena hasil panen TBS satu bulan hanya Rp 1,5 juta," ujarnya.
Noca mengaku tidak mengetahui penyebab anjloknya harga komoditas andalan Bengkulu itu. "Padahal pada tahun 1998 saat dolar naik harga kopi melambung tapi harga sawit sekarang malah amblas," tuturnya.
Sementara itu Pimpinan Bank Indonesia perwakilan Bengkulu Bambang Himawan mengatakan kenaikan harga dolar tidak memberi pengaruh terhadap kenaikan harga sawit di Indonesia karena perusahaan melakukan sistem penjualan berdasarkan kontrak kerja sama yang bersifat jangka panjang. "Sehingga harga jual tersebut berlaku sesuai kontrak tidak terpengaruh dengan harga dolar," kata Bambang.
Belum lagi katanya anjloknya harga komoditi ekspor seperti sawit, karet, dan batu bara juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dunia sehingga permintaan menurun. "Permintaan dunia terhadap komoditi kita seperti sawit, karet, dan batu bara sedang turun sehingga mempengaruhi harga jual," katanya. [http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/08/29/087695936/rupiah-loyo-kasihan-petani-bengkulu-harga-sawit-cuma-rp-300-per-kg]
Setiap tiga bulan, kata Noca, tanaman sawitnya memerlukan pupuk senilai Rp 3 juta untuk setiap hektare. Saat harga sawit masih bagus yakni antara Rp 1.150-1.200 per kilogram, Noca mengaku masih sanggup.
"Tapi sekarang saya tidak mampu lagi menyiapkan uang Rp 6 juta untuk membeli pupuk, karena hasil panen TBS satu bulan hanya Rp 1,5 juta," ujarnya.
Noca mengaku tidak mengetahui penyebab anjloknya harga komoditas andalan Bengkulu itu. "Padahal pada tahun 1998 saat dolar naik harga kopi melambung tapi harga sawit sekarang malah amblas," tuturnya.
Sementara itu Pimpinan Bank Indonesia perwakilan Bengkulu Bambang Himawan mengatakan kenaikan harga dolar tidak memberi pengaruh terhadap kenaikan harga sawit di Indonesia karena perusahaan melakukan sistem penjualan berdasarkan kontrak kerja sama yang bersifat jangka panjang. "Sehingga harga jual tersebut berlaku sesuai kontrak tidak terpengaruh dengan harga dolar," kata Bambang.
Belum lagi katanya anjloknya harga komoditi ekspor seperti sawit, karet, dan batu bara juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dunia sehingga permintaan menurun. "Permintaan dunia terhadap komoditi kita seperti sawit, karet, dan batu bara sedang turun sehingga mempengaruhi harga jual," katanya. [http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/08/29/087695936/rupiah-loyo-kasihan-petani-bengkulu-harga-sawit-cuma-rp-300-per-kg]