1657408484514812

PDIP: Kasus Freeport Bukan Konflik KIH vs KMP, Tapi Politik Adu Domba Asing


Kesan bahwa persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menyangkut kasus "Papa Minta Saham" terkait Ketua DPR RI Setya Novanto bukanlah soal perseteruan politik Koalisi Indonesia Hebat (KIH) vs Koalisi Merah Putih (KMP). Yang ada justru telah terjadi politik pecah belah (devide et impera) yang dilakukan oleh pihak asing, dalam hal ini pihak PT Freeport.


"Yang paling penting adalah, telah terjadi politik devide et impera yang dilakukan oleh pihak asing. Bagaimana kita lihat proses sidang, rekaman itu. Ada tangan asing yang bermain untuk menciptakan konflik di republik. Intervensi kepentingan asing yang kuat yang jadi perhatian kita bersama," kata Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Arif Wibowo, Senin (7/12).

"Kalau tak ada rekaman yang diperdengarkan di sidang MKD itu, maka takkan ada isu menghebohkan itu. Dan ini bermula dari Freeport. Dan itu kan asing. Kepentingan mereka kan jelas. Bahwa dia ingin tetap kuasai SDA (sumber daya alam) di Papua. Jadi konflik ini lebih kepada adanya intervensi asing," tambahnya.

Kata Arif, PDIP ingin menekankan bahwa negara dominan atas kepemilikan dan pendapatan tambang di Papua. Negara harus menguasai tambang yang selama ini di tangan Freeport, dan itu adalah sebuah keniscayaan politik.

Kata Arif, dengan proses persidangan yang terjadi selama ini, maka keinginan Freeport untuk memecah belah dan mendelegitimasi lembaga-lembaga pemerintahan telah mendekati kenyatakan. Sehingga persoalan perpanjangan kontrak, yang sebenarnya harus melibatkan lembaga negara seperti DPR RI, menjadi bias.

"Mereka kelihatannya ingin agar lembaga negara seperti DPR tak dilibatkan dalam pembicaraan perpanjangan kontrak, tetapi diserahkan ke individu-individu di pemerintahan. Ujungnya strategi mereka adalah melemahkan institusi kenegaraan
kita, khususnya lembaga DPR" kata Arif.                                                        
"Concern publik harusnya kepada perpanjangan kontrak. Yang terjadi di MKD adalah ekses kepentingan asing yang ingin kembali mengusai sumber kekayaan terbesar negara."

Sebagai bukti, kata Arif, seharusnya berdasarkan UU, dibukanya kemungkinan renegosiasi kontrak Freeport itu paling cepat sebelum kontrak karya berakhir. Kalau kontrak berakhir 2021, maka baru pada tahun 2019 renegosiasi kontrak bisa dibnicarakan.

Sementara Freeport sendiri sudah bermanuver sejak beberapa tahun lalu. Pertemuan Presdir Freeport Maroef Sjamsoeddin dengan Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI, dan diakui juga dengan MPR dan DPD RI, adalah bukti besarnya nafsu perusahaan asal AS itu mengeruk kekayaan Indonesia, walau tahu ada peraturan yang melarangnya.

"Dan anehnya, di tahun ini, Menteri ESDM Sudirman Said juga sudah mengajukan surat ke Freeport untuk memastikan adanya renegosiasi. Padahal paling cepat itu harusnya dibicarakan 2019, bukan sekarang," kata Arif.

"Bayangkan kalau emas di tambang Freeport itu jadi kolateral untuk mencetak uang di BI. Sementara selama ini, bagian kita dari konsesi itu paling cuma 10 persenan, plus royalti satu persen."

Karena itu, kembali ditegaskan oleh Arif, bahwa tak benar bila ada KMP vs KIH di persidangan kasus Novanto. "Yang ada adalah intervensi asing mengadu domba dan mendelegitimasi lembaga negara. Karena kalau tak dilegitimasi, maka wajib harus ada persetujuan parlemen jika kontrak hendak diperpanjang," tandasnya. (BeritaSatu.com)





PapaMintaSaham Freeport 7632904310202457971

Posting Komentar

Beranda item

Terkini