Pro Kontra Jokowi Hidupkan Pasal Penghinaan Presiden: Apa Bedanya Kritik dan Hinaan?
http://liputan-69.blogspot.com/2015/08/pro-kontra-jokowi-hidupkan-pasal.html
Mahkamah Konstitusi telah menolak salah satu pasal dalam draf KUHP yang berisi tentang penghinaan terhadap Presiden pada tahun 2006. Namun, di era Presiden Joko Widodo pasal tersebut kembali dihidupkan dan telah disodorkan ke DPR agar disahkan menjadi undang-undang.
Ketua DPR Setya Novanto memiliki sikap mengambang terkait Pasal 263 ayat 1 dan diperluas lewat pasal 264 RUU KUHP yang disodorkan pemerintah tentang penghinaan presiden. Setya menyatakan bahwa nama baik presiden harus tetap dijaga. Maka dari itu setiap orang tidak boleh melakukan penghinaan. Namun di sisi lain kritik harus tetap ada dan disampaikan secara bertanggung jawab.
"Presiden juga harus dijaga, DPR juga harus jaga (nama baik presiden) karena itu simbol negara. Itu yang penting adalah bagaimana cara menyampaikan dan juga cara bagaimana itu memberikan pendapat-pendapatnya. Kalau dikritik betul-betul tidak ada masalah. Tapi yang penting konstruktif, yang penting untuk pembangunan," kata Setnov di Kompleks Parlemen DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/8)
Lantas, apa bedanya antara menghina dan mengkritik Presiden?
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai tak ada perbedaan antara menghina dan mengkritik Presiden. Sebab, kata dia, Presiden merupakan sebuah jabatan publik yang sah-saja mendapatkan hinaan maupun kritik.
"Mau hina mau kritik boleh karena Presiden itu jabatan politik. Resiko jabatan publik memang seperti itu, masa kalau nggak boleh hina Presiden lantas mau gimana? ganti Presidennya? ya siapapun yang ganti pasti dapat hinaan karena ini jabatan publik," kata Ray seperti dilansir merdeka.com, Selasa (4/8).
Ray menegaskan, seseorang melakukan penghinaan dikarenakan tidak puas dengan kinerja seorang Presiden bukan menghina dari sisi pribadi Presiden tersebut. Oleh sebab itu, dia menegaskan tak setuju pasal ini kembali diajukan ke DPR sebagai rancangan undang-undang.
"Ya sangat tidak setuju. Orang menghina itu menghina Presiden bukan menyerang sisi pribadinya," paparnya.
Selain itu, dia mengaku kecewa dengan pemerintahan saat ini dengan kembali mengajukan pasal tentang penghinaan Presiden yang menurutnya semakin menunjukkan bahwa rezim Jokowi terus menggerus demokrasi.
"Sekarang pasal ini, KPK dikriminalisasi, Komisi Yudisial juga dikriminalisasi, aktivis korupsi sekarang mau dikriminalisasi juga. Sayang kita sayangkan pemerintah sekarang ini," tukasnya.
Terlebih, kata dia, sejumlah pihak banyak yang percaya saat Presiden Jokowi terpilih menjadi Presiden ketujuh Indonesia untuk membawa demokrasi di tanah air semakin kuat. Namun nyatanya, justru setelah menjabat harapan tersebut justru berbanding terbalik dengan kenyataan.
"Kita gadang-gadang pemerintahan sekarang ini bisa bawa demokrasi lebih benar tapi sikapnya malah menjurus ke orde baru," tandasnya.